Pasang Surut: Edisi Khusus Vol. I – Understanding the Palestinian-Israeli Conflict – A Primer, Phyllis Bennis

Published by on

Pasang Surut #8 (Edisi Khusus): Understanding the Palestinian-Israeli Conflict – A Primer, Phyllis Bennis

Tongkrongan kali ini barangkali tongkrongan paling emosional sepanjang seri Pasang Surut. Sebabnya, karena buku yang dibicarakan tidak lain dan tidak bukan berjudul ‘Understanding the Palestinian-Israeli Conflict: a Primer’ karya Phyllis Bennis.

Fakta bahwa buku ini ditulis oleh seorang kulit putih membuat kita dapat mengerti bahwa isu Palestina dan Israel bukanlah isu agama. Ia merupakan isu kemanusiaan. Bahkan Bennis sendiri, yang merupakan seorang Amerika keturunan Yahudi mati-matian membela Palestina dalam bukunya.

Posisi penulis yang jelas dan tegas dalam karyanya memberi nilai positif pada buku ini. Pertanyaan-pertanyaan besar tentang penjajahan Israel pada Palestina dijawab dengan runut dan sederhana. Demikian menurut Riswan.

Tetapi ia juga mengingatkan kalau di Goodreads, para pembaca Amerika bilang kalau buku ini terlalu berat sebelah sehingga tidak dapat digunakan sebagai rujukan objektif untuk memahami apa yang terjadi antara Palestina dan Israel.

Orang Amerika memang lucu sekali. Masalah sederhana seringkali dibuat seolah rumit dan abu-abu agar kita selalu ragu akan kebenaran yang sudah di depan mata. Dan dalam keraguan seperti itu, kita diharapkan merasa kalau masalah yang sesungguhnya terang benderang tidak akan selesai tanpa campur tangan pemerintah Amerika. Betapa memuakkan.

Beberapa waktu lalu Duta Besar Uni Eropa melakukan kunjungan ke suatu perguruan tinggi ternama dekat sini, Rara -peserta Pasang Surut- sempat menghadiri acara tersebut. Pada kesempatan itu, pejabat ini bilang kalau aksi-aksi pemboikotan terhadap produk-produk yang ditengarai mendukung Israel tidaklah berguna. Sebab, tidak ada satu pun pabrik dari produk-produk itu terletak di Israel.

Pernyataan duta besar di atas setengah benar. Benar bahwa mayoritas produk tersebut tidak diproduksi di Israel, tetapi keliru besar jika mengatakan gerakan boikot tidak memiliki dampak apa pun. Phyllis Bennis menyoroti ini dalam bukunya.

Aksi boikot terhadap produk-produk pro-zionis sebenarnya bukan baru terjadi. Gerakan ini merupakan aksi serius yang telah memiliki bentuk. Dunia mengenalnya dengan ‘BDS’ atau ‘Boycott, Divestment, and Sanctions’ yang bertujuan untuk memberikan tekanan ekonomi, politik dan budaya pada Israel.

Bennis menyebut kalau gerakan ini mulai muncul pada tahun 2005. Tidak lama setelahnya, gerakan ini menjalar ke kampus-kampus dan beragam komunitas lainnya di Amerika, termasuk ke dalam gereja-gereja Presbyterians dan Methodist.

BDS juga sudah sering menuai sukses besar di Eropa. ‘Veolia’, satu perusahaan besar dari Prancis yang bergerak di bidang energi mengalami kerugian sampai 24 juta dolar setelah pengajuan kontraknya ditolak berkali-kali sejak tahun 2006-2014. Pihak perusahaan mengakui kalau keadaan itu disebabkan pernyataan sikap masyarakat internasional melalui BDS terkait keterlibatan perusahaan ini dalam proyek pemukiman Israel.

Gerakan ini juga berdampak pada bank-bank Israel di Eropa. Beberapa asuransi bidang dana pensiun di Belanda dan Luxembourg akhirnya memutuskan ikatan kerja sama mereka dengan lima bank Israel. Salah satu bank Israel terbesar yang masuk daftar hitam ialah Bank Hapoalim di Denmark.

Dari sini kita akhirnya mengerti mengapa duta besar Uni Eropa coba membujuk teman-teman di universitas itu dengan retorika murahan. Sebab gerakan boikot menyerang Israel dengan cara menyasar ekonomi Eropa. Perusahaan-perusahaan yang memberi bantuan keuangan pada Israel, toh, banyak terletak di Eropa.

Dengan demikian, kita akhirnya dapat mengerti mengapa dalam pertemuan Dewan Keamanan PBB beberapa saat lalu di mana Prancis dan Swiss mendukung gencatan senjata di Gaza, sedangkan UK yang bukan lagi anggota Uni Eropa masih bisa mengambil sikap abstain.

Andan juga mengatakan kalau BDS kini tidak hanya menyasar produk, tetapi juga mulai menyasar beberapa ilmuan Israel. Ilmuan dari beberapa negara, termasuk Indonesia, sudah banyak yang menolak bekerja sama dengan peneliti-peneliti atau institusi pendidikan dari Israel.

Selain BDS, hal penting yang juga dapat dipelajari dari buku Phyllis Bennis ini ialah soal posisi Hamas di mata Israel dan sekutunya.

Kemunculan Hamas pada tahun 1987 di sekitar intifada I dapat ditelusuri sampai ke gerakan Ikhwanul Muslimin, satu organisasi Pan-Islam di Mesir. Namun, Hamas mulanya bukanlah suatu gerakan militer. Mereka lebih fokus membangun sekolah, klinik, rumah sakit, masjid, dan berbagai kebutuhan dasar yang tidak akan pernah disediakan oleh penjajah Israel. Hal inilah yang mendongkrak popularitas Hamas di Gaza.

Ketegangan yang terus terjadi di Jalur Gaza membuat Hamas melakukan serangan pertamanya pada pos-pos militer Israel pada tahun 2006. Serangan bom bunuh diri itu segera dimanfaatkan Israel dan Amerika untuk membangun stigma negatif tentang Hamas dan Islam. Sejak saat itulah mereka giat mengampanyekan Islam sebagai suatu agama penuh darah hanya untuk menjustifikasi tindakan-tindakan tidak manusiawi mereka terhadap masyarakat Palestina.

Ketika Hamas menang di Jalur Gaza dalam pemilu tahun 2006, Israel segera mengumumkan kalau mereka tidak ingin bekerja sama dengan pemerintah Palestina yang dikuasai Hamas. Mereka hanya sudi membangun hubungan diplomatik dengan Fatah atau kelompok-kelompok lain yang lebih moderat.

Masalahnya, bahkan ketika Hamas belum dominan, Israel terus melakukan penganiayaan terhadap rakyat Palestina. Hamas, Fatah, atau apa pun, toh, Israel tetap sama bejatnya. Kenyataan pahit itu pula yang membuat warga Gaza mengalihkan dukungan mereka pada Hamas, sebab kehadiran Fatah dan partai-partai di bawah pimpinan Arafat dan Abbas tidak berdaya menyelesaikan masalah penjajahan Israel.

Jelang akhir diskusi, Delphine, kawan kami dari Prancis, turut bergabung. Ia membagi cerita tentang pengalaman buruk orang-orang Yahudi di Eropa yang bagi saya menjadi satu alasan mengapa Israel senang menjual narasi playing victim ke dunia barat. Orang Yahudi memang punya pengalaman buruk di sana.

Menurut Delphine, orang-orang Eropa yang senang dengan narasi white-supermacy kerap melakukan kekerasan terhadap yang berbeda dari mereka. Rundungan terhadap orang Yahudi, dalam tingkatan paling parah, dilakukan dengan menggali kuburan mereka lalu melecehkan jasad-jasad tidak bernyawa itu di depan orang banyak. Saya nyaris muntah waktu Delphine menceritakan ini.

Meski Prancis pernah didukui Nazi dan karenanya melawan fasisme Jerman, tidak sedikit pula warga negara Prancis yang tidak suka dengan keberadaan orang-orang Yahudi dan semua yang dianggap ‘kurang Eropa’. Olehnya orang Yahudi dianggap patut pergi dari sana dan mendirikan negara sendiri. Sebab jika terus di Eropa, maka mereka akan selalu menjadi sasaran perundungan. Maka tidak perlu heran mengapa sayap kanan di benua itu juga sangat membenci Islam.  Atas kenyataan itu juga banyak orang-orang Yahudi di Prancis sangat pro-Palestina.

Tongkrongan bubar menjelang Isya karena kami hendak membakar ikan dan makan bersama. Namun, sepanjang menunggu matangnya ikan, bahasan tentang Palestina dan refleksi terhadap buku Phyllis Bennis ini terus berlangsung. Ya, bukan kah harusnya demikian? Narasi menentang Zionisme dengan mendukung kemerdekaan Palestina mesti tidak putus, sampai ikan matang, sampai kenyang, sampai kapan pun juga, sampai Palestina merdeka!

Makassar, 13 Desember 2023

Fathul Karimul Khair, koordinator Pasang Surut