Pasang Surut #5: Kota Palopo yang Terbakar, Musytari Yusuf / Mohajus Abukomar

Published by on

Pasang Surut #5: Kota Palopo yang Terbakar, Musytari Yusuf / Mohajus Abukomar

Tongkrongan memulai pembicaraan tentang buku ini pada pukul 5 petang sembari berdoa hujan akan turun. Suasana memang agak gerah sebab di luaran mendung tengah menggelayut, tetapi hujan tak jua kunjung turun.

Novel ini merupakan pemenang sayembara penulisan roman UNESCO-IKAPI pada tahun 1968. Penulisnya bernama Musytari Yusuf yang ketika pertama kali menerbitkan buku ini, ia menggunakan nama samaran ‘Mohajus Abukomar’.

Barangkali, di antara semua volume Pasang Surut, bahasan mengenai karya Musytari Yusuf ini sangat dinanti-nantikan karena secara spesifik bicara tentang Sulawesi Selatan.

Sejak testimoni yang diberikan Kak Ai beberapa waktu lalu tentang novel ini, kami sudah tidak sabar. Beberapa bahkan membacanya dalam ‘sekali duduk’. Gaya bahasanya memang mengesankan ketuaan karya ini, tetapi justru itu yang membuat buku ini kian antik, romantic, sekaligus bermutu tinggi.

“Buku ini tentang kehormatan seorang Patiwiri,” kata Unu membuka diskusi.

Patiwiri orang Bugis Bone yang menikahi perempuan Luwu.

Ketika revolusi pecah ia turut bergabung dalam laskar hingga jatuhnya Benteng Batu Putih. Setelahnya, ia bekerja di kapal dengan rute pelayaran lintas negara.

Ketika tengah berada di Terusan Suez, ia bertemu seorang dari kampung halaman yang membawa kabar kalau istri Patiwiri telah meninggal setelah dirudapaksa oleh seorang bernama Andi Rajab.

Patiwiri muntab demi mendengar berita itu. Ia bersumpah akan menuntut kehormatan istrinya hingga ke liang lahat. Maka ia pun kembali ke Indonesia, menuju Makassar, menuju Palopo, mencari seorang yang telah menodai mendiang istrinya.

Sejak awal novel, Musytari Yusuf telah membuat kita paham kalau tokoh Patiwiri adalah orang yang tidak dapat hidup tanpa harga diri. Bahkan teman-teman sepakat ketika Munib bilang kalau nilai-nilai Siri’ dalam budaya Bugis dipersonifikasi, maka ia akan menjadi Patiwiri.

Musytari Yusuf juga mampu menciptakan suasana yang tidak umum demi mendukung tujuan itu. Misalnya ketika Patiwiri bertemu seorang petinggi TNI di atas kapal, terjadi adegan ketika prajurit TNI membaca mata Patiwiri, “orang ini memiliki tatapan mata sedalam samudera.”

Di mana-mana, adegan tatap-menatap biasanya terjadi antara tokoh perempuan. Tetapi dua mantan pejuang, bermain catur dan saling membaca kedalaman diri melalui pandangan merupakan suasana yang dipilih para pengarang.

Cara penulis menggambarkan kompleksitas gender di Sulawesi Selatan juga sangat piawai. Tidak ada kalimat-kalimat yang seolah hendak menggurui pembaca tentang realitas sosial di wilayah ini. Semuanya mengalir dan membuat pembaca mampu merasakan betapa beranekaragamnya manusia di muka bumi.

Karakterisasi yang kaya dan digambarkan dengan detail tetapi tidak berlebihan membuat roman ini layak disandingkan dengan berbagai bacaan penting untuk memahami Sulawesi Selatan pada periode DI/TII. Tidak berlebihan kiranya jika menyandingkannya dengan posisi Tetralogi Buru karya Pramoedya Ananta Toer ketika hendak memahami lebih jauh kompleksitas dan dinamika pergerakan pemuda Indonesia pada awal abad 20.

Siapapun yang hendak mempelajari periode itu kami sarankan untuk membaca buku yang seolah hilang dalam peta sastra Indonesia ini. Selain itu, novel ini nampaknya belum banyak dikaji dalam skripsi anak-anak Sastra Indonesia. Sangat kami rekomendasikan untuk menulis tugas akhir tentang buku ini!

Dan sebagai hidangan penutup harvesting kali ini, kami ingin mengutip satu kalimat Patiwiri yang bagi kami menyiratkan kompleksitas dan makna teramat dalam:

“Kalau saudara merasa teraniaya oleh almarhum, mengapa saudara tidak menuntut dia melalui pengadilan. Di hutan ini, keadilan tetap ditegakkan walaupun terhadap siapapun.”

“Saya terlalu Bugis untuk ke pengadilan dalam soal-soal kehormatan.”

Fathul Karimul Khair, koordinator Pasang Surut